Proposal Penelitian
UNIVERSITAS GUNADARMA
FAKULTAS ILMU KOMPUTER &
TEKNOLOGI INFORMASI
PROPOSAL PENELITIAN :
PENGAMATAN TERHADAP KEBUDAYAAN SUKU
SAMIN
Nama :
Fanidya Cinthya Tamba
NPM :
13113207
Kelas : 3KA01
Dosen : Sangsang
Sangabakti
Ditulis Guna Memenuhi
Tugas Mata Kuliah Bahasa Indonesia 2
Universitas Gunadarma
2016
KATA PENGANTAR
Assalamua’alaikum
Wr. Wb.
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang
Maha Esa karena atas berkat rahmat dan karunia-Nya, serta dorongan doa restu
dan dorongan dari berbagai pihak sehingga penulis dapat menyelesaikan Penulisan
Ilmiah ini dengan judul “Pengamatan Terhadap Kebudayaan Suku Samin”.
Adapun penulisan ilmiah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Bahasa
Indonesia 2.
Dengan diselesaikannya penulisan ini, penulis
mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya atas segala
dukungan, bimbingan, pengarahan, dan bantuan kepada penulis. Ucapan terima
kasih penulis sampaikan kepada berbagai pihak yaitu orang tua, teman – teman kelas
3KA01 angkatan 2013 serta Bapak Dosen
yang telah membimbing penulis.
Penulis
menyadari bahwa penulisan ini masih kurang dan jauh dari kata sempurna, oleh
karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun
baik untuk penulisan ini maupun untuk penulis sendiri. Semoga penulisan ini
dapat memberikan manfaat baik bagi semua pihak termasuk penulis.
Wassalamu’alaikum
Wr. Wb.
Depok, 8
Juni 2016
(Penulis)
DAFTAR ISI
Cover
................................................................................................... i
Kata Pengantar
.................................................................................... ii
Daftar Isi
............................................................................................. iii
BAB 1 PENDAHULUAN
...................................................... 1
1.1 Latar
Belakang Masalah ............................................. 1
1.2 Rumusan
Masalah ......................................................... 2
1.3 Batasan
Penelitian ........................................................ 2
1.4 Tujuan
Penulisan ......................................................... 2
1.5 Manfaat
Penulisan ...................................................... 3
BAB 2 LANDASAN TEORI
.................................................. 4
2.1 Latar Belakang Sejarah Masyarakat Samin.................. 4
2.2 Ajaran
Masyarakat Samin........................................... 6
2.3 Surosentiko
Samin sebagai Gandhi Van Java ............... 8
2.4 Teori
Interaksi Sosial...................................................... 9
BAB 3 METODOLOGI
PENELITIAN ..................................... 11
3.1 Rancangan
Penelitian…………………………………… 11
3.2
Data dan Sumber Data………………………………….. 11
3.3
Instrumen Penelitian…………………………………….
12
3.4 Waktu dan Tempat ……………………………………… 12
Daftar Pustaka ....................................................................................... 13
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah
Indonesia memiliki khasanah tradisi budaya yang sangat beragam.
Tradisi-tradisi tersebut mengandung nilai-nilai luhur bangsa
Indonesia. Salah satu pemikiran yang luhur tersebut adalah ajaran Sedulur Sikep
yang dianut oleh masyarakat Samin. Ajaran sedulur sikep memiliki relevansi
dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia seperti kejujuran, gotong
royong, solidaritas, kesatuan dan persatuan.
Namun saat ini, banyak budaya-budaya luhur tersebut yang mulai ditinggalkan
oleh masyarakat Indonesia. Di Indonesia sedang marak dengan konflik sosial
(disintegrasi) yang menjuru kepada perpecahan maupun konflik sosial lainnya.
Sesuai berita di Koran Jawa Pos, tawuran pelajar terjadi di Jakarta pada
24 September 2012 dengan korban satu orang meninggal, dua hari setelah itu,
juga di Jakarta tapi di lokasi dan kelompok yang berbeda seorang pelajar
meninggal lagi dalam sebuah tawuran. Meninggalnya dua pelajar itu menambah
panjang daftar pelajar yang berpulang sia-sia. Berdasar data dari Komisi Nasional
Perlindungan anak, disepanjang 2012 sedikitnya ada 16 siswa yang tewas akibat
86 tawuran. Kecuali mati, puluhan luka berat maupun ringan.
Tawuran
pelajar seperti tak pernah berhenti. Padahal, itu sangat merugikan. Selain
merugikan sekolah dan pelajar sendiri, kasus itu merugikan publik yang sangat
terganggu. Jika tak ada penyelesaian yang mendasar dan menyeluruh atas
“tradisi” tawuran ini, bukan tak mungkin para pelajar akan sampai pada
kesimpulan bahwa kekerasan adalah cara yang paling efektif untuk menyelesaikan
masalah. Jika ini benar-benar terjadi, akibat jangka panjangnya bagi negeri ini
sudah bisa dibayangkan. Hal tersebut sangat di sayangkan karenaIndonesia adalah
Negara yang kaya akan pemikiran yang luhur dari sejarah-sejarah lokal.
Salah satu pemikiran yang luhur dari sejarah-sejarah lokal tersebut adalah
ajaran Sedulur Sikep yang dianut oleh masyarakat Samin. Masyarakat
Samin merupakan masyarakat yang melakukan perlawanan terhadap Belanda atas
kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Belanda dengan tanpa kekerasan.
Senjata mereka adalah bahasa.
Sikap
perjuangan mereka dapat dilihat dari profil orang samin yakni gaya hidup yang
tidak bergelimpangan harta, tidak menjadi antek Belanda, bekerja keras, berdoa,
berpuasa dan berderma kepada sesama. Ungkapan-ungkapan yang sering diajarkan
antara lain : sikap lahir yang berjalan bersama batin diungkapkan yang berbunyi sabar,nrimo,rilo
dan trokal(kerja keras), tidak mau merugikan orang lain diungkapkan dalam sikap
sepi ing pamrih rame ing gawe dan selalu hati-hati dalam berbicara
diungkapkan ‘Ojo waton ngomong, ning ngomong kang maton’.
Berdasarkan
latar belakang dan uraian tersebut, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang
ajaran Sedulur Sikep dari Surosentiko Samin.
1.2 Rumusan
Masalah
1. Apa sajakah nilai-nilai
luhur dari ajaran Gandhi Van Java (Surosentiko Samin)?
2. Bagaimanakah
reinternalisasi dan relevansi Sedulur Sikep sebagai warisan nilai-nilai
luhur Gandhi Van Java (Soerosentiko Samin)?
luhur Gandhi Van Java (Soerosentiko Samin)?
1.3 Batasan
penelitian
Agar penelitian tidak menyimpang
dari bahasan, maka penelitian ini dibatasi pada masyarakat Samin yang
terdapat di lingkup wilayah Bojonegoro.
1.4 Tujuan
1. Mendeskripsikan apa sajakah nilai-nilai
luhur dari ajaran Gandhi Van Java (Surosentiko
Samin).
Samin).
2. Mendiskripsikan reinternalisasi dan
relevansi Sedulur Sikep sebagai warisan nilai-
nilai
luhur Gandhi Van Java (Soerosentiko Samin).
luhur Gandhi Van Java (Soerosentiko Samin).
1.5
Manfaat
1. Bagi
Masyarakat
Sebagai sarana untuk mengetahui tergalinya potensi
nilai-nilai luhur bangsa sebagai media pembelajaran dalam Pendidikan Budaya,
Karakter Bangsa yang inovatif,
2. Bagi
Siswa
Sebagai bahan pembelajaran dan kategori ilmu
sosial atau lebih dikenal dengan sosiologi
3. Bagi
Peneliti
Dapat mengetahui bagaimana filosofi dari masyarakat
Samin dapat digunakan untuk pendidikan moral masyarakat saat ini.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Latar Belakang Sejarah
Masyarakat Samin
Masyarakat Samin ialah satu suku di Jawa Tengah tepatnya ada di Kabupaten Blora.
Saminisme ini berasal dari pemikiran seorang tokoh yang bernama Samin
Surosentiko yang sebenarnya memiliki nama Raden Kohar seorang putra dari Raden
Surowijoyo yang sangat membenci Belanda. Tahun 1840 Raden Surowidjojo bertindak
sebagai perampok dan menyerahkan hasilnya pada rakyat miskin dan sisanya
digunakan untuk mendirikan komunitas Tiyang Sami Amin. Tahun 1859 lahir Raden
Kohar anak dari R Surowidjojo yang sering disebut Samin Surosentiko di desa
Ploso Kabupaten Blora.
Kata Samin sendiri berasal dari kata Sami-sami amin. Kata ini dapat diintrepertasikan sebagai sebuah wujud demokrasi yang berlandaskan pada persetujuan bersama sebagai landasan yang sah yang didukung komponen masyarakat banyak. Persetujuan ini ialah persetujuan sekelompok orang yang kemudian sering disebut dengan Suku Samin. Namun, sekarang Suku Samin tidak mau di sebut sebagai suku Samin maupun masyarakat Samin. Alasan masyarakat Samin tidak mau di panggil wong Samin karena identik dengan perbuatan tidak terpuji,antara lain 1) Samin dianggap kelompok yang tidak mau membayar pajak, 2) Sering membantah dan menyangkal peraturan yang telah di tetapkan, 3) sering keluar masuk penjara, 4) sering mencuri kayu jati, 5) perkawinan tidak dilakukan menurut tatacara islam. Mereka lebih suka di sebut sebagai wong sikep karena diartikan sebagai orang yang mempunyai rasa tanggung jawab atau bertanggung jawab. Komunitas ini telah memiliki system bahasa dan kebudayaan yang berbeda dengan masyarakat Blora pada umumnya sehingga dapat dikatakan bahwa samin merupakan suku yang eksklusif.
Perlawanan terhadap penjajah kolonial Belanda karena takut akan bergesernya status sosial, hal ini dapat dilihat dari tokoh penggerak dari Saminisme itu sendiri yang merupakan petani yang tergolong cukup mampu. Petani yang cukup mampu ini memiliki tanah lebih dari 3 Bahu sedangkan pada saat itu kepemilikan tanah dibatasi sehingga tanah yang boleh mereka miliki berkurang. Berkurangnya tanah ini menyebabkan kurangnya kedudukan mereka di mata rakyat karena ukuran kedudukan saat itu diukur dari luas tanah. Hal ini terkait dengan pengakuan kedudukan seseorang di mata penduduk desa yaitu pemilik sawah atau tanah yang luas ialah orang yang sangat tinggi statusnya sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa tanah merupakan ukuran tinggi rendah status dari masyarakat pedesaan.
Selain dari faktor di atas, faktor kebencian akan penjajah dan perlakuan sewenang-wenang dari bumi putera yang menjadi perangkat pemerintah kepada masyarakat menjadi faktor pendorong dari perlawanan masyarakat Samin. Pada dasarnya Suku Samin merupakan suku yang menginginkan persamaan derajat antara satu manusia dengan manusia lain. Dalam hal ini maka gerakan ini menginginkan persamaan derajat antara penduduk pribumi yaitu petani dan bangsa Belanda beserta kaki tangannya yaitu Bumi Putera.
Kata Samin sendiri berasal dari kata Sami-sami amin. Kata ini dapat diintrepertasikan sebagai sebuah wujud demokrasi yang berlandaskan pada persetujuan bersama sebagai landasan yang sah yang didukung komponen masyarakat banyak. Persetujuan ini ialah persetujuan sekelompok orang yang kemudian sering disebut dengan Suku Samin. Namun, sekarang Suku Samin tidak mau di sebut sebagai suku Samin maupun masyarakat Samin. Alasan masyarakat Samin tidak mau di panggil wong Samin karena identik dengan perbuatan tidak terpuji,antara lain 1) Samin dianggap kelompok yang tidak mau membayar pajak, 2) Sering membantah dan menyangkal peraturan yang telah di tetapkan, 3) sering keluar masuk penjara, 4) sering mencuri kayu jati, 5) perkawinan tidak dilakukan menurut tatacara islam. Mereka lebih suka di sebut sebagai wong sikep karena diartikan sebagai orang yang mempunyai rasa tanggung jawab atau bertanggung jawab. Komunitas ini telah memiliki system bahasa dan kebudayaan yang berbeda dengan masyarakat Blora pada umumnya sehingga dapat dikatakan bahwa samin merupakan suku yang eksklusif.
Perlawanan terhadap penjajah kolonial Belanda karena takut akan bergesernya status sosial, hal ini dapat dilihat dari tokoh penggerak dari Saminisme itu sendiri yang merupakan petani yang tergolong cukup mampu. Petani yang cukup mampu ini memiliki tanah lebih dari 3 Bahu sedangkan pada saat itu kepemilikan tanah dibatasi sehingga tanah yang boleh mereka miliki berkurang. Berkurangnya tanah ini menyebabkan kurangnya kedudukan mereka di mata rakyat karena ukuran kedudukan saat itu diukur dari luas tanah. Hal ini terkait dengan pengakuan kedudukan seseorang di mata penduduk desa yaitu pemilik sawah atau tanah yang luas ialah orang yang sangat tinggi statusnya sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa tanah merupakan ukuran tinggi rendah status dari masyarakat pedesaan.
Selain dari faktor di atas, faktor kebencian akan penjajah dan perlakuan sewenang-wenang dari bumi putera yang menjadi perangkat pemerintah kepada masyarakat menjadi faktor pendorong dari perlawanan masyarakat Samin. Pada dasarnya Suku Samin merupakan suku yang menginginkan persamaan derajat antara satu manusia dengan manusia lain. Dalam hal ini maka gerakan ini menginginkan persamaan derajat antara penduduk pribumi yaitu petani dan bangsa Belanda beserta kaki tangannya yaitu Bumi Putera.
Secara rohani setiap suku di Indonesia yang mengharapkan datangnya Ratu Adil
juga mengilhami gerakan perlawanan terhadap kolonial Belanda. Hal ini dapat
dilihat dari diangkatnya Samin Surosentiko sebagai ratu adil dengan gelar Prabu
Panembahan Surya Alam Pada tahun 1907. Dengan diangkatnya Samin Surosentiko
sebagai Ratu Adil maka rakyat menganggap bahwa Samin Surosentiko sebagai panutan
yang dapat membawa keadilan dan kesejahteraan. Akan tetapi menurut Samin
Surosentiko sendiri, Ia tidak mengakui hal itu karena ketika di pengadilan,
Samin beserta 8 pengikutnya tidak mengakui hal tersebut sehingga Belanda tidak
dapat memberikan hukuman yang berat kepada Samin Surosentiko, hanya dengan
membuangnya keluar Jawa untuk meredam gerakan Samin.
Samin sendiri dibagi menjadi dua berdasarkan karakter perilakunya, yaitu:
(1). Samin Sikep
Samin sendiri dibagi menjadi dua berdasarkan karakter perilakunya, yaitu:
(1). Samin Sikep
Suku Samin ini memiliki ciri dengan tutur bahasa yang halus dan masih memakai
bahasa yang santun kepada orang-orang tua. Salah satu ciri yang lain ialah
perlawanan dengan cara perilaku dengan model niteni (memperhatikan miliknya
sendiri). Cara ini konkritnya ialah ketika ditarik pajak akan hasil buminya
maka ia akan menggunakan pola fikir bahwa tanah yang digarap ialah tanahnya
sendiri bukan tanah dari bangsa Belanda mengapa harus membayar pajak untuk
miliknya sendiri. Dapat disimpulkan bahwa Samin sikep dengan cara ini menolak
pajak sebagai bentuk perlawananya.
(2). Samin Sangkah
(2). Samin Sangkah
Suku
Samin memiliki karakter yang berbeda dengan Samin Sikep. Samin Sangkah ditandai
dengan tutur bahasa yang kasar kepada bangsa Belanda dan pribumi pegawai
Belanda. Pola dari bahasa kasar ini dengan memakai bahasa Jawa Ngoko kepada
Belanda berserta kaki tanganya. Pemakaian bahasa ini menunjukan nilai-nilai
persamaan derajat yang diusung oleh suku Samin kepada Belanda. Selain itu yang
menjadi ciri dari Samin Sangkah ini ialah perilaku dengan model logika
berdasarkan perspektif mereka sendiri. Pola ini secara konkrit ialah ketika
ditanya berapa jumlah sapi yang dimilikinya maka ia akan menjawab dua walaupun
sebenarnya memiliki sapi lebih dari dua. Hal ini sesuai asumsi mereka bahwa
sapi mereka hanya dua yaitu jantan dan betina. Perilaku ini dilakukan guna menghindari
pajak dari Belanda serta membingungkan Belanda dalam mencari informasi akan
gerakanya.
2.2 Ajaran masyarakat Samin
Ajaran Ki Samin mengenai kejatmikaan atau ilmu untuk jiwa dan raga,
jasmani dan rohani mengandung 5 saran, yaitu:
1. Jatmiko kehendak
yang didasari usaha pengendalian diri.
2. Jatmiko dalam
beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa dan menghormati sesama
makhluk Tuhan.
makhluk Tuhan.
3. Jatmiko dalam
mawas diri, melihat batin sendiri setiap saat, dapat menyelaraskan
dengan lingkungan.
dengan lingkungan.
4. Jatmiko dalam
menghadapi bencana/bahaya yang merupakan cobaan dari Tuhan Yang
Maha Esa.
Maha Esa.
5. Jatmiko untuk
pegangan budi sejati.
Menurut Ki Samin ajaran kejatkikaan tersebut merupakan senjata yang
paling baik dan memiliki khasiat yang ampuh, karena dalam kehidupan itu banyak
godaan dari segala arah dan yang tidak aneh adalah yang berasal dari “Rogo
Rapuh” sendiri.
Ki
Samin mengerjakan anak buahnya harus pasrah, semeleh, sabar, narimo ing pandum
seperti air telaga yang tidak bersuara. Dalam perkumpulan, dalam memberi
putunjuk Ki samin selalu menggunakan tulisan huruf Jawa yang disusun seperti
halnya puisi, prosa, gancaran, dan tembang mocopat. Seperti di bawah ini
yang berbentuk prosa:
“Jer ruh tumuruning tumus winwntu ing projo nalar, nalar wikan reh kasudarman, hayu ruwuyen badra, nukti-nuting lagon wirana natyeng kewuh, saka angganingrat”.
Sifat-sifat yang diajarkan selalu menggunakan pertimbangan logika (akal sehat) antara kewaspadaan dan kebijaksanaan dalam menjalani hidup seperti menyusun gending. Perbuatan yang dapat mengatasi hambatan hidup adalah apa saja yang kita bawa dalam menjalani hidup di dunia.
“Jer ruh tumuruning tumus winwntu ing projo nalar, nalar wikan reh kasudarman, hayu ruwuyen badra, nukti-nuting lagon wirana natyeng kewuh, saka angganingrat”.
Sifat-sifat yang diajarkan selalu menggunakan pertimbangan logika (akal sehat) antara kewaspadaan dan kebijaksanaan dalam menjalani hidup seperti menyusun gending. Perbuatan yang dapat mengatasi hambatan hidup adalah apa saja yang kita bawa dalam menjalani hidup di dunia.
Salah
satu pegangan/pedoman Ki Samin dirancang dalam tembang pangkur.
“ Soho malih dadya gaman, anggegulang gelunganing pambudi, polokrami nguwah mangun memangun treping widyo, kasampar kasandung dugi prayogantuk, ambudya atmaja tama, mugi-mugi dadya kanti”. Yang artinya: juga menjadi senjata untuk melatik letajaman budi, bisa melalui perkawinan yang menghasilkan kesanggupan yaitu kegunaan dengan ilmu yang luhur/baik, karena dalam perkawinan itu kita jatuh bangun dalam berupaya mencari “cukup” terlebih lagi dalam mengusahakan lahirnya anak cucu yang nantinya menjadi teman hidup.
“ Soho malih dadya gaman, anggegulang gelunganing pambudi, polokrami nguwah mangun memangun treping widyo, kasampar kasandung dugi prayogantuk, ambudya atmaja tama, mugi-mugi dadya kanti”. Yang artinya: juga menjadi senjata untuk melatik letajaman budi, bisa melalui perkawinan yang menghasilkan kesanggupan yaitu kegunaan dengan ilmu yang luhur/baik, karena dalam perkawinan itu kita jatuh bangun dalam berupaya mencari “cukup” terlebih lagi dalam mengusahakan lahirnya anak cucu yang nantinya menjadi teman hidup.
Ki Samin memang tidak hanya mengerjakan ilmu kadigdayan tapi juga mengurusi
masalah perkawinan atau hubungan antara pria dan wanita.
Tentang pedoman tingkah laku kehidupan tertulis dalam tembang dandang gulo.
“Pramila sesama kang dumadi, mikani ren papanng sujana, sajogo tulus pikukuhe, angrengga jagat agung, lelantaran mangun sukapti, limpade kang sukarso, wisaha anggayun, suko bukamring prajaning wang, pananduring mukti kapti amiranti dilalah kandiling setya”.
Yang artinya: adalah kepada sesama makhluk hidup, dengan cara memahami kehidupan masing-masing, sebaiknya tulus. Cara yang dilakukan adalah memelihara dunia yang besar dengan membuktikan kepercayaan, mengutamakan kelincahan dan kemampuan, sering dibuktikan, tidak lain yaitu menanam kebaikan.
Tentang pedoman tingkah laku kehidupan tertulis dalam tembang dandang gulo.
“Pramila sesama kang dumadi, mikani ren papanng sujana, sajogo tulus pikukuhe, angrengga jagat agung, lelantaran mangun sukapti, limpade kang sukarso, wisaha anggayun, suko bukamring prajaning wang, pananduring mukti kapti amiranti dilalah kandiling setya”.
Yang artinya: adalah kepada sesama makhluk hidup, dengan cara memahami kehidupan masing-masing, sebaiknya tulus. Cara yang dilakukan adalah memelihara dunia yang besar dengan membuktikan kepercayaan, mengutamakan kelincahan dan kemampuan, sering dibuktikan, tidak lain yaitu menanam kebaikan.
Masih banyak ajaran Ki Samin yang lain yaitu seperti buku primbon yang memuat
petunjuk untuk orang hidup tentang kepercayaan terhadap Tuhan yang menciptakan
dunia, tingkah laku dan sifat-sifat orang hidup, misalnya buku “Punjer Kawitan,
Serat Pikukuh Kesejaten, Serat Uri-uri Pambudi dan Jati Sawit.
Ki Samin dalam mengajar untuk membangun manusia seutuhnya seperti di atas
tersebut, membuktikan bahwa dia memiliki pengetahuan kebudayaan dan
lingkungan.Andalan Ki Samin adalah Kitab Jamus Kalimosodo yang di tulis oleh
Kyai Surowidjojo atau Samin Sepuh. Terlebih lagi pribadi Ki Samin Sepuh juga
terdapat dalam Kitab tersebut.
Kitab
Jamus Kalimosodo ditulis dengan bahasa Jawa baru yang berbentuk prosa, puisi,
ganjaran, serat mocopat seperti tembang-tembang yang telah ditulis di atas yang
isinya bermacam-macam ilmu yang berguna yang saat sekarang ini banyak disimpan
sesepuh Masyarakat Samin yang berada di Tapelan (Bojonegoro), Kropoduwur
(Blora), Kutuk (Kudus), Gunung Segara (Brebes), Kandangan (Pati) dan Tlaga
Anyar (Lamongan) yang berbentuk lembaran tulisan huruf Jawa yang dipelihara
dengan baik.
Daerah
Kekuasaan Ki Samin Surosentiko sudah semakin luas hingga desa-desa lain. Pada
suatu hari masyarakat Desa Tapelan, Ploso dan juga Tanjungsari mengangkat Ki
Samin menjadi Raja dengan gelar “Prabu Panembahan Suryongalam” yang dapat
menerangi orang sedunia dan yang diangkat sebagai patih merangkap senopati,
kamituwo (Kepala Dusun) Bapangan yang diberi gelar “Suryo Ngalogo” yang
mengajarkan tentang perang. Ini membuktikan bahwa orang Jawa/pribumi dengan sah
memiliki tekad yang utuh berjuang secara tenang (halus).
Ki
Samin Surosentiko dalam menentang penjajah dapat dilihat dalam bermacam-macam
cara. Bila kita melihat bagaimana perbuatan orang-orang
pemerintahan Belanda yang hendak menghabiskan warga Samin yang waktu
itu tersebar di Blora, Bojonegoro, Pati dan Kudus yang paling banyak di Desa Tapelan Kecamatan Ngraho Bojonegoro. Namun Ki Samin Surosentiko tidak khawatir berjuang namun kelihatan diam sepertinya dia melawan tanpa perang. Cara yang dipakai melawan hanyalah menolak membayar pajak, menolak menyumbang tenaga untuk pemerintahan Belanda, membantah terhadap peraturan dan dia mendewakan dirinya sendiri seperti halnya titisan dewa yang suci.
pemerintahan Belanda yang hendak menghabiskan warga Samin yang waktu
itu tersebar di Blora, Bojonegoro, Pati dan Kudus yang paling banyak di Desa Tapelan Kecamatan Ngraho Bojonegoro. Namun Ki Samin Surosentiko tidak khawatir berjuang namun kelihatan diam sepertinya dia melawan tanpa perang. Cara yang dipakai melawan hanyalah menolak membayar pajak, menolak menyumbang tenaga untuk pemerintahan Belanda, membantah terhadap peraturan dan dia mendewakan dirinya sendiri seperti halnya titisan dewa yang suci.
2.3 Soerosentiko Samin sebagai
Gandhi Van Java
Selama abad ke-19 dan awal abad ke 20 di Indonesia terus-menerus timbul,
pemberontakan, kerusuhan, kegaduhan, brandalan, dan sebagainya, yang semuanya
itu cukup menggoncangkan masyarakat dan pemerintah pada waktu itu.
Peristiwa-peristiwa tersebut terutama sekali banyak terjadi di daerah pedesaan.
Dapat dikatakan hampir setiap tahun di salah satu daerah terjadi
pergolakan dan kerusuhan, yang sering di wujudkan sebagai
tindakan-tindakan-tindakan yang bersifat agresif dan radikal. Oleh karena
itu pergerakan sosial menjadi gerakan yang bersifat endemis.
Tanah
kering di Blora yang kaya hutan jati itu ternyata memiliki sosok Mahatma Gandhi
yang telah membentuk masyarakat komunalnya seperti Utopia-nya Thomas
Robert More. Sejarah Indonesia telah mencatat perlawanan Samin Surantiko, walau
hanya sedikit.
Sebenarnya
orang-orang Samin setelah kematian sang pemimpinnya yang bernama Samin
Surontiko, tidak suka dijuluki Samin. Kata Samin memiliki konotasi bodoh, tapi
bukan kebodohan karena tidak atau kurang cerdas, tetapi bodoh yang keras kepala
dalam mengukuhkan pendirian mereka. Orang-orang Samin lebih suka dijuluki Wong
Sikep (orang yang bertanggungjawab dalam konotasi baik dan jujur).
Samin
yang awalnya nama seorang pernah melawan kekuasaan dengan cara yang unik itu,
kini menjadi kata juga cemoohan. Kata samin yang menjadi bahan ejekan bisa jadi
bersifat politis. Hal ini diciptkan oleh penguasa yang telah menghancurkan
perlawanan tanpa kekerasan ditambah sebuah ejekan. Samin yang semula adalah
berusaha memanusiakan manusia, telah dijadikan ejekan yang tidak manusiawi
Samin
yang kadang diartikan bodoh ini telah menutupi keharuman nama samin dalam
sejarah perlawanan sosial di Indonesia. Samin adalah sosok gerakan sosial yang
nyaris dilupakan dalam sejarah. Samin bisa disejajarkan dengan Pitung
Robinhood Betawi yang juga dikecilkan dan nyaris tidak disebut dalam
sejarah perjuangan bangsa Indonesia.
Samin
telah meninggalkan masyarakat Samin yang telah dibentuknya lebih dari seabad
lalu. Masyarakat Samin adalah masyarakat eksklusif yang hidup komunial
dibeberapa kabupaten diutara perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur. Mereka memulai
perlawannya dari sebuah protes atas program perluasan hujan jati oleh pemrintah
kolonial dan pendukung pribuminya. Lama-kelamaan gerakan ini berkembang menjadi
gerakan kebatinan yang menentang segala bentuk formalitas. Seperti administrasi
negara dan lembaga sekolah. Hal menarik dari Samin adalah mereka menolak
membayar pajak. Karena itulah Soerosentiko Samin kami sebut sebagai Gandhi Van
Java.
2.4 Teori Interaksi Sosial
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, interaksi didefinisikan sebagai hal
saling melakukan aksi, berhubungan, atau saling mempengaruhi. Dengan demikian,
interaksi sosial adalah hubungan timbal balik (sosial) berupa aksi saling
mempengaruhi antara individu dan individu, antara individu dan kelompok, dan
antara kelompok dan kelompok.
Faktor-faktor
pendorong interaksi
sosial:
1. Imitasi
Imitasi
adalah suatu tindakan meniru orang lain. Imitasi atau perbuatan meniru bisa
dilakukan dengan bermacam-macam bentuk. Misalnya, gaya bicara, tingkah laku,
adat, dan kebiasaan, pola pikir, serta apa saja yang dimiliki atau dilakukan
oleh seseorang. Namun demikian, dorongan seseorang untuk meniru orang lain
tidaklah berjalan dengan sendirinya. Perlu ada sikap menerima, sikap mengagumi,
dan sikap menjunjung tinggi apa yang akan diimitasi itu.
2. Sugesti
Sugesti
berlangsung apabila seseorang memberi pandangan atau sikap yang dianutnya, lalu
diterima oleh orang lain. Biasanya, sugesti muncul ketika si penerima sedang
dalam kondisi yang tidak netral sehingga tidak dapat berpikir secara rasional.
Segala anjuran atau nasehat yang diberikan langsung diterima dan diyakini.
3. Identifikasi
Identifikasi merupakan kecenderungan atau keinginan seorang untuk menjadi sama
dengan pihak lain (meniru secara keseluruhan). Identifikasi sifatnya lebih
mendalam dibandingkan imitasi, karena proses identifikasi, kepribadian
seseorang bisa terbentuk. Orang melakukan proses identifikasi karena sering
kali memerlukan tipe ideal tertentu dalam hidupnya.
4. Simpati
Simpati
merupakan suatu proses dimana seseorang merasa tertarik kepada pihak lain.
Melalui proses simpati, seseorang merasa dirinya seolah-olah berada dalam
keadaan orang lain dan merasakan apa yang dialami, dipikirkan, atau dirasakan
orang lain tersebut. Dalam proses ini, perasaan memegang peran penting walaupun
alasan utamanya adalah rasa ingin memahami dan bekerja sama dengan orang lain.
5. Empati
Empati
merupakan simpati mendalam yang dapat mempengaruhi kejiwaan dan fisik
seseorang. Empati sering disamakan dengan simpati, namun sebenarnya keduanya
berbeda. Empati sifatnya lebih dalam daripada simpati
BAB III
METODOLOGI
PENELITIAN
1.1 Rancangan Penelitian
Metode
penelitian yang kami gunakan adalah metode penelitian deskriptif
kualitatif. Penelitian deskriptif berusaha menggambarkan suatu gejala
sosial, dengan kata lain penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan sifat
sesuatu yang tengah berlangsung pada saat studi. Metode kualitatif ini
memberikan informasi yang mutakhir sehingga bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan serta lebih banyak dapat diterapkan pada berbagai masalah (Husein
Umar, 1999:81). Sedangkan penelitian ini lebih memfokuskan pada studi kasus
yang merupakan penelitian yang rinci mengenai suatu obyek tertentu selama kurun
waktu tertentu dengan cukup mendalam dan menyeluruh. Studi kasus ialah suatu
pendekatan yang bertujuan untuk mempertahankan keutuhan (wholeness) dari obyek,
artinya data yang dikumpulkan dalam rangka studi kasus dipelajari sebagai suatu
keseluruhan yang terintegrasi, di mana tujuannya adalah untuk memperkembangkan
pengetahuan yang mendalam mengenai obyek yang bersangkutan yang berarti bahwa
studi kasus harus disifatkan sebagai penelitian yang eksploratif dan
deskriptif.
3.2 Data dan Sumber Data
Jenis
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Data
Primer merupakan hasil catatan hasil observasi langsung, yaitu pengamatan
dengan mencari lokasi yang di huni oleh wong sikep yang masih memegang teguh
dasar - dasar sedulur sikep sehingga peneliti melakukan pengamatan langsung
pada tingkah laku mereka.
2. Data
sekunder berasal penelitian dan penelitian yang telah dilakukan.
3.3 Instrumen Penelitian
Instrumen
utama penelitian dalam penelitian ini adalah peneliti sebagai instrumen kunci
yang mengumpulkan data dan menganalisis data. Sedangkan instrumen sekunder
antara lain dengan menggunakan pedoman observasi/pengamatan, pedoman wawancara,
dan pedoman dokumentasi.
3.4 Waktu dan
Tempat Penelitian
Penelitian
ini dilaksanakan pada tanggal 1 November 2012 di Desa Margomulyo, Kecamatan
Margomulyo, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur.
Alasan
pemilihan lokasi ini karena faham Saminisme berkembang dengan baik ,terdapat
sesepuh Saminisme, dan kebudayaan sikep di desa ini masih sangat kental.
3.5 Teknik Analisis Data
Analisis data yang dilakukan adalah dengan cara menggunakan pola penafsiran
induktif, yakni setelah observasi, peneliti melakukan analisis dan penyimpulan
yang didasarkan pada kajian teori yang digunakan.
Daftar Pustaka
1.
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.1984. Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta:
Notosusanto, Marwati Djoened Poesponegoro Nugroho.
2.
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.1997. Pembinaan Nilai-nilai Budaya Melalui
Permainan Rakyat di Daerah Jambi. Jambi: Lazuardi Indah Jambi.
3.
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.1984. Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta:
Notosusanto, Marwati Djoened Poesponegoro Nugroho. 1984.
4.
http://cahyanirina.blogspot.co.id/2014/12/makalah-tentang-samin.html.
Diakses Pada Tanggal 8 Juni 2016.
Comments
Post a Comment