Cerpen

Pena, Pensil dan Tanya



“Aku punya mimpi suatu saat bisa pergi ke tempat ini” ujar Ali sembari menunjukkan foto lukisan Monalisa yang ada dalam hp-nya pada Adit, teman dekatnya yang sedari tadi sibuk dengan kamera yang melingkar di lehernya.
“Asal kamu tahu ya Li, tetangga Mbah ku meninggal gara-gara punya mimpi mau meluk candi borobudur, jangan sampai kamu kayak gitu” ledek Adit dengan tawa yang menghiasi wajahnya, ia memang paling suka meledek teman dekatnya itu, karena seorang Ali, kalau diledek dia nggak bakalan melawan, hal yang ia lakukan hanya menghela nafas atau geleng-geleng kepala dan hal itu yang membuat Adit geli.
“Males ah, curhat sama cowok!” ujar Ali yang kemudian memberesi pensil, penghapus dan sebuah kertas putih yang sedari tadi berada di atas meja untuk kemudian pergi dan beranjak dari tempat duduknya, sementara Adit hanya diam di tempat dan tak memperdulikan Ali yang pergi meninggalkannya.
Sementara Ali, mengikuti langkah kakinya menuju sebuah tempat dimana seorang hamba bisa sangat dekat dengan Tuhannya, tempat dimana semua tanya yang ada di dalam hati mampu terjawab dalam hitungan waktu sebagai wujud cinta kasih-Nya.
Seusai sholat, ia pun beranjak untuk kembali ke kelas, namun belum juga ia sampai di kelas, sudah ada Dea, teman di club tempat ia mengekspresikan apa yang menjadi bakatnya.
“Nanti sore, kamu ada acara?” tanya Dea dengan tatapan serius pada Ali, sementara Ali dengan santainya hanya menjawab lewat gelengan kepala “Nggak ada”
“Temenin aku nyari bibit buat tanaman hidroponik ya” pinta Dea
“Kenapa aku?”
“Lagi pada sibuk semua”
“Ya udah, nanti kalau mau berangkat kamu sms aja” jawab Ali yang di sambut senyuman manis dari Dea sebelum ia pergi ke kelasnya. Begitu pula dengan Ali yang kembali duduk di samping cowok yang 2 tahun duduk dengannya yang masih dengan aktivitas yang sama ‘berkutat dengan kamera’.
Sore ini, seperti agenda yang telah ada, Ali menemani Dea mencari bibit tanaman, ikut club yang ada kaitannya dengan biologi memang bukan dunia yang sepenuhnya, namun bagaimanapun menjalani hidup tak harus monoton, karena ada banyak hal yang bisa di lakukan untuk menikmati hidup.
“Makasih ya udah mau nemenin aku” ujar Dea saat keluar dari toko bibit tanaman
“Santai aja De” jawab Ali santai “Kamis besok aku tunggu di club, ok!” lanjut Dea yang lagi-lagi senyum menghiasi dalam wajahnya “Iya, tenang aja” jawab Ali santai, dan pembicaraan mereka terhenti saat Dea mulai pergi meninggalkan Ali yang masih berdiri di depan toko memegangi kunci motor dan memandang Dea yang perlahan mulai menghilang dari pandangan.
“Abis darimana Li?” tanya Ibu yang sedang menyirami bunga di depan rumah, saat Ali baru saja turun dari motornya, dengan langkah pasti ia mendekati wanita yang sangat ia cintai, cinta yang tak akan habis oleh kata-kata, dan wanita yang sangat ia hormati bahkan sebuah ciuman tangan tak mampu menandingi rasa cinta kasih yang telah Ibu berikan kepada anaknya “Nyari bibit tanaman bu, buat club abis itu kumpul sama temen” jawab Ali
“Kalau main jangan nyampe maghrib gini dong Al, cepat sholat gih” ujar Ibu dengan penuh kelembutan “Iya Bu” jawab Ali yang segera melaksanakan perintah Ibunya itu. Bagi Ali, ada 2 hal yang cukup mengusik hatinya yaitu antara perintah dengan ego, karena keduanya menyangkut tentang hati, semakin bertambah usia, semakin bertambah pula tanggung jawab yang harus ia emban, sebagaimana perintah orangtuanya yang mengharapkan agar ia dapat bekerja di dunia pendidikan, sementara dirinya masih belum bisa menentukan apakah hobinya harus ia jadikan sebagai pekerjaan atau tidak?
VANIA, nama seorang cewek berkacamata yang belum lama menjadi temannya tertera di dalam akun sosial media yang ia punya, dengan rentetan puisi galau, jemari Ali bergerak untuk menyukai karya kecil yang di publikasikan itu, dari bahasa yang Vania gunakan, Ali menangkap sebah kesimpulan bahwa Vania juga bernasib sama dengannya sedang mengalami pilihan yang berat yang mengusik hatinya, meski ia belum tahu apakah 2 pilhan itu
adalah masalah karier sehingga sama dengannya atau masalah hati yang hanya diketahui oleh Vania, tapi yang pasti mulai dari situ, pembicaraan antara Vania dengan Ali dimulai…
Siang ini, sepulang sekolah Ali dan Vania berada di ruang seni di lantai atas, pemandangan sekolahan terlihat lebih indah bila dipandang dari ketinggian, namun bukan pemandangan yang mereka akan bahas melainkan tanya yang ada di dalam diri mereka masing-masing “Kalau kamu lagi ada masalah tentang diri kamu, apa yang pertama akan kamu lakukan?” tanya Ali pada Vania yang sedari tadi bicara panjang lebar untuk kemudian diam seribu kata “Menulis lewat goresan pena, itu kan pertanyaan yang aku tanyain ke kamu?” Vania balik bertanya.
“Iya juga, ini sketsa yang kamu minta” ujar Ali sembari memberikan sketsa pada Vania, dengan senyum mengembang di wajahnya Vania pun menerima sketsa itu dan kemudian membuka ranselnya dan mengeluarkan kertas hasil print out “Ini cerpen sederhanaku, bagus atau nggak, setidaknya letakkan kertas ini di tempat yang nggak mengurangi kehormatan secarik kertas putih”
“Apa sih maksudnya?” tanya Ali dengan ekspresi wajah penuh tanya “Intinya jangan dibuang Li” lanjut Vania, Ali hanya mengangguk dan kemudian membaca tulisan yang tertera di sampul cerpennya “Kamu, ibarat uang logam yang memiliki dua sisi yang berbeda, maksudnya apa sih?” lagi-lagi Ali di buat bingung oleh tingakh Vania
“Intinya, kamu kayak uang logam, memiliki dua kepribadian yang berbeda, apa yang aku lihat tak sama dengan apa yang aku baca, kamu terlihat diam dan lebih tenang saat bertemu langsung, tapi kamu begitu aktif dan lebih ekspresif kalau di media sosial, nggak ada salahnya sih kedua-duanya sama-sama baik kok” terang Vania
“Iya” jawab Ali yang hobi dengan jawaban singkatnya
“Kenapa kamu tanya kayak tadi? emang kamu lagi ada masalah?” tanya Vania
“Nggak tahu, ada kata-kata yang mau kamu bilang?”
“Apapun itu masalah kamu, lakukan apa yang ingin kamu lakukan, kalau kamu nggak tahu apa yang harus kamu lakukan, selalu ingat akan keberadaan-Nya, jadilah hamba yang baik agar selalu dalam dekap Kasih-Nya…” terang Vania
“Begitu ya?”
“Iya, Li, dulu aku punya mimpi bisa baca komik buatan sendiri loh”
“Ya… buat aja” jawab Ali pasti
“Masalahnya, bikin garis lurus aja nggak bisa apalagi gambar”
“Maksudnya aku yang gambar kan?” terka Ali yang hanya menciptakan sebuah tawa kecil dari Vania “Ya gitu deh… kayaknya lucu deh kalau punya karya di akhir-akhir SMA” terang Vania, kali ini Ali hanya mengangguk dan menatap langit dengan tatapan nanar, begitu pula dengan Vania dan selama beberapa menit mereka berdiri di tempat untuk sebuah keheningan yang tak tahu apa artinya.
Cerpen Karangan: Windi Saputri

Referensi :
http://cerpenmu.com/cerpen-remaja/pena-pensil-dan-tanya.html. Diakses Pada Tanggal 8 Juni 2016

Comments

Popular posts from this blog

Sinopsis Legenda Batu Gantung Parapat Danau Toba

PROPOSAL

Jenis - Jenis Profesi Di Bidang TIK Dan Deskripsi Kerja Profesi IT